Kamis, 13 Oktober 2011

TAFSIR AL FAKHRUR RAZI (dikenal sebagai at TAFSĪR al KABĪR atau MAFĀTĪH al GAYB)

Kitab berbahasa arab bisa didownload di sini:

Terbitan Darul Fikri, Cetakan Pertama 1401/1981, 32 jiid.

Penyusunnya bernama lengkap Abu ‘Abdullah Muhammad bin ‘Umar bin al Husayn bin al Hasan bin ‘Ali at Taymiy al Bakriy ath Thabariy ar Raziy asy Syafi’iy, alias Abul Ma’aliy, Abul Fadhl, Ibnu Khatib ar Rayy. Gelar akademiknya Syaikhul Islam, al Imam, Fakhrud Din, ar Raziy. Hidup antara tahun 544 hingga 604 Hijriah atau tahun 1149 hingga 1207.

TAHAPAN PENGHAMBAAN SEJATI (tahap pertama: terjaga)



Menurut para ahli, penghambaan yang sejati itu melalui beberapa tahapan. Berikut pilihan keterangan dari Alharawi (pemuka dalam ilmu hadis, tafsir, bahasa dan tasawuf dari Khurasan yang hidup antara tahun 396-481 H atau tahun 1005-1088) dalam kitabnya,  Manāzilus Sāirīn ilāl Haqqil Mubīn. Semoga bermanfaat.

Kitab tersebut dapat didownload di sini:

(kitab itu telah ditelaah dan dikoreksi oleh Ibnul Qayyim Aljawziyyah (691-751/1291-1350) melalui kitabnya, Madārijus Sālikīn Bayna Manāzilun Iyyāka Na’budu Wa Iyyāka Nasta’īn)


Tahap Terjaga
(al yaqzhah)


Katakanlah, sesungguhnya aku hendak mengingatkan kamu satu hal, yaitu hendaklah kamu bangkit menghadap Allah (yakni terjaga dari lelapnya lupa).

Penyebab kesadaran ini adalah merasuknya pengajaran dari Allah ke dalam hati mu`min sewaktu menyaksikan ayat-ayat atau tanda-tanda kekuasaan Allah yang mengandung pelajaran (al wa’izh).

Dalam hal ini ada tiga macam kesadaran: Pertama, saat diri menyadari mustahil menghitung banyaknya nikmat Allah, dan berhenti mengira-ngira kaitan banyak sedikitnya nikmat Allah itu dengan usaha dan kondisi dirinya. Hati dipenuhi makrifat bahwa nikmat itu semata karunia Allah, bukan karena dirinya, malah hati mengakui kekurang pantasan diri untuk nikmat-nikmat Allah itu.

Kesadaran yang pertama ini diperoleh sewaktu mu`min mentafakuri proses terjadinya nikmat Allah yang begitu mengagumkan, atau ketika merenungi keadaan orang-orang yang mengalami musibah.

Kedua, saat diri mengingat kesalahan yang pernah dilakukan, dan mengira dirinya pantas celaka karenanya. Dirinya sangat membutuhkan jalan keluar dari kesalahan dan akibat-akibatnya, ingin sekali terbebas dari jeratannya, dan amat berharap untuk selamat selama-lamanya dari semua itu.

Kesadaran ini diperoleh sewaktu mu`min mengenali kebesaran Allah dan keburukan diri, serta janji-janji dan ancaman-ancamanNya.

Ketiga, saat diri menyadari kondisinya dalam beribadat masih kadang naik kadang turun, dan hari-harinya tidak kosong dari hal-hal yang sia-sia. Dirinya masih pelit mencurahkan segenap perhatian dan waktunya untuk mencari tahu penyebab sebenarnya dan solusi yang tepat dari kondisinya itu, atau untuk memakmurkan hari-harinya dengan ibadat-ibadat yang wajib maupun sunat dan berbagai aktifitas kebaikan lainnya.

Kesadaran ini diperoleh sewaktu mu`min menyimak pengajaran-pengajaran, memenuhi panggilan-panggilan kebaikan, dan menemani orang-orang saleh.

Mempertahankan kesadaran-kesadaran tersebut hingga benar-benar menguasai jiwa adalah dengan bersungguh-sungguh melaksanakan perbuatan-perbuatan yang sangat ditekankan dalam Islam (‘azimah) dan sebisa-bisanya untuk tidak mengambil keringanan-keringanan dalam hal itu (rukhshah).